Allah (SWT) berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 37, “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah (SWT), tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demi-kianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah (SWT) atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu”.
Semua Ibadah memiliki tujuan yang sama, yaitu agar seorang hamba bisa mencapai ketaqwaan. Dalam setiap prosesnya, mulai dari pemilihan hewan kurban hingga pengirimannya kepada orang yang berhak, kesempurnaan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka diterimanya ibadah qurban itu sendiri. Yang mencapai Allah (SWT) bukanlah daging, maupun darah dari hewan qurban. Melainkan dengan perbuatan baik, niat yang benar dan ikhlas, atau dengan kata lain taqwa, itulah yang sampai kepada Allah (SWT).
Taqwa; Rasa takut kepada Allah (SWT) berarti memiliki tekad yang kuat dan rasa ingin menghindari sikap tidak patuh kepada-Nya. Kepatuhan dalam taqwa berakar kepada dari rasa tidak ingin kehilangan kasih sayang dari Allah (SWT), bukan semata-mata karena rasa takut akan hukuman akibat melakukan kesalahan. Dengan kata lain, taqwa adalah kepatuhan yang didasarkan pada cinta, bukan pada ketakutan semata. Sumbernya adalah cinta, rasa enggan akan kehilangan cinta. Itulah sebabnya taqwa; merupakan sumber kekuatan di dalam sekian banyak hati. Tak terhitung berapa banyak hati yang mendapat energi darinya, menjadi lebih kuat dengannya, dan menjadi tercerahkan karenanya. Dasar utama untuk mencapai tujuan dan keselamatan hanyalah taqwa.
Berdasarkan apa yang kita pelajari dari hadits shahih, hal terpenting yang akan membawa orang ke surga adalah ketaqwaan dan akhlak yang baik. Dua keindahan ini bersatu dalam ibadah Qurban. Ketaqwaan kita diperuntukkan kepada Allah (SWT), sementara daging dari hewan Qurban diserahkan untuk hamba-hamba Allah (SWT). Kurban yang hanya terdiri dari daging (tanpa diiringi ketaqwaan), merupakan suatu tindakan yang tidak disukai dan tidak pula diterima di sisi Allah (SWT).
Pengorbanan adalah simbol ketundukan tertinggi dan ketakwaan dari hamba-hamba Allah (SWT) tercinta Ibrahim (AS), dan putranya Ismail (AS).
Saat putranya melepas masa kanak-kanak dan mulai beranjak dewasa, dimana beliau mulai semakin sering menghabiskan waktu dan menemukan kedamaian saat bersama putra satu-satunya, Nabi Ibrahim (AS) melihat dalam mimpinya bahwa dia sedang menyembelih putranya. Beliau menyadari bahwa mimpi ini merupakan pertanda dari Tuhannya, yang berisi perintah untuk mengorbankan putra kesayangannya. Karena dia adalah seorang nabi, dan mimpi-mimpi para nabi adalah sesuatu yang benar; petunjuk dari Allah (SWT); sesuatu yang haqiqi.
Oleh karena itu, Nabi Ibrahim (AS), tanpa keraguan, bertekad untuk memenuhi perintah yang diterimanya dengan penuh ketaqwaan. Di detik-detik pengorbanan itu, Allah (SWT) menunjukkan kasih sayang-Nya, dan berfirman: “Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. “ [QS. Ash-Shaffaat: 104-107]
Tujuan sebenarnya dari perintah ini adalah untuk mengukur keimanan dan ketakwaan Nabi Ibrahim (AS), dan menjadikan hal tersebut sebagai teladan bagi generasi mendatang. Maka bersamaan dengan itu, ujian telah usai dan tujuan telah tercapai. Tentu saja, tujuan pengujian Allah (SWT) bukanlah untuk menyakiti hamba-hambaNya. Sesungguhnya Allah (SWT) Tidak membutuhkan hal semacam itu. Oleh karena itu, kepatuhan Nabi Ibrahim (AS) ini sudah cukup untuk dianggap telah memenuhi perintah tersebut. Pengorbanan adalah kemampuan untuk meninggalkan sesuatu yang paling kita cintai di sisi Allah (SWT). Sebagaimana Nabi Ibrahim (AS) menunjukkan contoh terbaik dari hal tersebut, putra beliau, Ismail (AS) juga menunjukkan contoh ketaatan dan kesalehan di usia muda dengan menaati perintah Allah (SWT) tanpa keraguan.
Dalam kasus pengorbanan Nabi Ismail (AS), tuntutan sebenarnya bukanlah pengorbanan manusia, tuntutan itu adalah sekedar sebagai ujian; ujian cinta! Karena tidak pernah ada permintaan atau perintah dari Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mengorbankan manusia, baik di masa lalu, hingga saat itu, dan di masa nabi terakhir, ini adalah permintaan yang jelas merupakan sebuah ujian semata.
Mendirikan shalat dan mennyembelih qurban juga merupakan indikasi keikhlasan kepada Allah (SWT) Perintah Allah (SWT) dalam firman-Nya yang berbunyi “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2) adalah perwujudan dari hal ini. Penyembelihan qurban bukan hanya sekedar uangkapan yang didapati dalam surat terpendek dalam Alquran. Melainkan ia juga merupakan nama tradisi religius, spiritual, Islam yang dimulai dengan Nabi Ibrahim (AS), dilanjutkan dengan Nabi Ismail (AS) dan Ishak (AS), dan berlanjut dengan Nabi Muhammad (SAW). Ini bukan hanya tentang menyembelih hewan. Sembari memanjatkan do’a untuk mendekatkan kita dengan sang Pencipta; Ini juga merupakan kewajiban orang-orang yang bertaqwa untuk menghindari perilaku apa pun yang akan menjauhkan kita dari Pencipta kita.
Qurban yang disembelih pada saat waktu ibadah haji memiliki tanda dan aspek simbolis yang berbeda. Bagaimanapun, doa dan ungkapan-ungkapan khusus yang dilakukan selama musim haji tidak lebih dari bentuk kepasrahan kepada Sang Pemilik Ka’bah, dan tindakan simbolis yang mewujudkan ketaatan kepada-Nya. Mereka adalah peringatan tentang penyerahan diri dan kepasrahan kepada Allah (SWT) Hewan qurban juga berada pada posisi yang sama.
Hewan qurban berkata, “Tuhanku! Jika perlu, saya bisa mengorbankan hidup saya untuk Engkau, untuk menjalankan perintah-Mu.” Ini adalah bentuk latihan untuk membuat kita tetap yakin dan percaya bahwa Qurban adalah bentuk pelepasan, penyerahan, dan pembelajaran tentang rasa kasih sayang.